Popular Posts

Wednesday, August 26, 2009

Bagian-३ (terakhir)

Bagian-३ (terakhir)

Bab IV
PERBUATAN BAIK DAN PERBUATAN BURUK

14. Pada dasarnya sesuai dengan siklus rwabhineda, perbuatan itu terjadi dari dua sisi yang berbeda, yaitu perbuatan baik dan perbuatan yang tidak baik. Perbuatan baik ini disebut dengan Cubha Karma, sedangkan perbuatan yang tidak baik disebut dengan Acubha Karma. Siklus cubha dan acubhakarma ini selalu saling berhubungan satu sama lain dan tidak dipisahkan. Demikianlah perilaku manusia selama hidupnya berada pada dua jalur yang berbeda itu, sehingga dengan kesadarannya dia harus dapat menggunakan kemampuan yang ada di dalam dirinya, yaitu kemampuan berfikir, kemampuan berkata dan kemampuan berbuat. Walaupun kemampuan yang dimiliki oleh manusia tunduk pada hukum rwabhineda, yakni cubha dan acubhakarma (baik dan buruk, benar dan salah, dan lain sebagainya), namun kemampuan itu sendiri hendaknya diarahkan pada çubhakarma (perbuatan baik). Karena bila cubhakarma yang menjadi gerak pikiran, perkataan dan perbuatan, maka kemampuan yang ada pada diri manusia akan menjelma menjadi prilaku yang baik dan benar. Sebaliknya, apabila acubhakarma yang menjadi sasaran gerak pikiran, perkataan dan perbuatan manusia, maka kemampuan itu akan berubah menjadi perilaku yang salah (buruk).

Berdasarkan hal itu, maka salah satu aspek kehidupan manusia sebagai pancaran dari kemampuan atau daya pikirnya adalah membeda-bedakan dan memilih yang baik dan benar bukan yang buruk atau salah.
Manusah sarvabhutesu
vartate vai cubhacubhe,
achubhesu samavistam
cubhesveva vakaravet. (Sarasamuccaya 2)
Artinya: “Dari Demikian banyaknya mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat melakukan perbuatan baik buruk itu; adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik juga manfaatnya jadi manusia.

Untuk memberikan batasan tentang manakah yang disebut tingkah laku baik atau buruk, benar atau salah, tidaklah mudah untuk menentukan secara tegas mengenai klasifikasi dari pada baik dan buruk itu adalah sangat sulit. Sebab baik dan buruk seseorang belum tentu baik atau bauruk bagi orng lain. Hal ini tergantung tingkat kemampuan dan kepercayaan serta pandangan hidup seseorang itu sendiri. Akan tetapi menurut agama Hindu disebutkan secara umum bahwa perbuatan yang baik yang disebut Cubhakarma itu adalah segala bentuk tingkah laku yang dibenarkan oleh ajaran agama yang dapat menuntun manusia itu ke dalam hidup yang sempurna, bahagia lahir bathin dan menuju kepada persatuan Atman dengan Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Sedangkan perbuatan yang buruk (acubhakarma) adalah segala bentuk tingkah laku yang menyimpang dan bertentangan dengan hal-hal tersebut di atas.

Untuk lebih jelasnya, manakah bentuk-bentuk perbuatan baik (cubhakarma) dan bentuk-bentuk perbuatan yang tidak baik (Acubhakarma) menurut ajaran agama Hindu sebagaimana disjelaskan berikut ini:
15. Çubhakarma (Perbuatan Baik)

Tri Kaya Parisudha. Tri kaya Parisudha artinya tiga gerak perilaku manusia yang harus disucikan, yaitu berfikir yang bersih dan suci (manacika), berkata yang benar (Wacika) dan berbuat yang jujur (Kayika). Jadi dari pikiran yang bersih akan timbul perkataan yang baik dan perbuatan yang jujur. Dari Tri Kaya Parisudha ini timbul adanya sepuluh pengendalian diri yaitu 3 macam berdasarkan pikiran, 4 macam berdasarkan perkataan dan 3 macam lagi berdasarkan perbuatan. Tiga macam yang berdasarkan pikiran adalah tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal, tidak berpikiran buruk terhadap mahkluk lain dan tidak mengingkari adanya hukum karmaphala. Sedangkan empat macam yang berdasarkan atas perkataan adalah tidak suka mencaci maki, tidak berkata kasar kepada makhluk lain, tidak memfitnah dan tidak ingkar pada janji atau ucapan. Selanjutnya tiga macam pengendalian yang berdasarkan atas perbuatan adalah tidak menyiksa atau membunuh makhluk lain, tidak melakukan kecurangan terhadap harta benda dan tidak berjina.

Catur Paramita. Catur Paramita adalah empat bentuk budi luhur, yaitu Maitri, Karuna, Mudita dan Upeksa. Maitri artinya lemah lembut, yang merupakan bagian budi luhur yang berusaha untuk kebahagiaan segala makhluk. Karuna adalah belas kasian atau kasih sayang, yang merupakan bagian dari budi luhur, yang menghendaki terhapusnya pendertiaan segala makhluk. Mudita artinya sifat dan sikap menyenangkan orang lain. Upeksa artinya sifat dan sikap suka menghargai orang lain. Catur Paramita ini adalah tuntunan susila yang membawa masunisa kearah kemuliaan.

Panca Yama Bratha. Panca Yama Bratha adalah lima macam pengendalian diri dalam hubungannya dengan perbuatan untuk mencapai kesempurnaan rohani dan kesucian bathin. Panca Yama Bratha ini terdiri dari lima bagian yaitu Ahimsa artinya tidak menyiksa dan membunuh makhluk lain dengan sewenang-wenang, Brahmacari artinya tidak melakukan hubungan kelamin selama menuntut ilmu, dan berarti juga pengendalian terhadap nafsu seks, Satya artinya benar, setia, jujur yang menyebabkan senangnya orang lain. Awyawahara atau Awyawaharita artinya melakukan usaha yang selalu bersumber kedamaian dan ketulusan, dan Asteya atau Astenya artinya tidak mencuri atau menggelapkan harta benda milik orang lain.

Panca Nyama Bratha. Panca Nyama Bratha adalah lima macam pengendalian diri dalam tingkat mental untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian bathin, adapun bagian-bagian dari Panca Nyama Bratha ini adalah Akrodha artinya tidak marah, Guru Susrusa artinya hormat, taat dan tekun melaksanakan ajaran dan nasehat-nasehat guru, Aharalaghawa artinya pengaturan makan dan minum, dan Apramada artinya taat tanpa ketakaburan melakukan kewajiban dan mengamalkan ajaran-ajaran suci.

Sad Paramita. Sad Paramita adalah enam jalan keutamaan untuk menuju keluhuran. Sad Paramita ini meliputi: Dana Paramita artinya memberi dana atau sedekah baik berupa materiil maupun spirituil; Sila Paramita artinya berfikir, berkata, berbuat yang baik, suci dan luhur; Ksanti Paramita artinya pikiran tenang, tahan terhadap penghinaan dan segala penyebab penyakit, terhadap orang dengki atau perbuatan tak benar dan kata-kata yang tidak baik; Wirya Paramita artinya pikiran, kata-kata dan perbuatan yang teguh, tetap dan tidak berobah, tidak mengeluh terhadap apa yang dihadapi. Jadi yang termasuk Wirya Paramita ini adalah keteguhan pikiran (hati), kata-kata dan perbuatan untuk membela dan melaksanakan kebenaran; Dhyana Paramita artinya niat mempersatukan pikiran untuk menelaah dan mencari jawaban atas kebenaran. Juga berarti pemusatan pikiran terutama kepada Hyang Widhi dan cita-cita luhur untuk keselamatan; Pradnya Paramita artinyaa kebijaksanaan dalam menimbang-nimbang suatu kebenaran.

Catur Aiswarya. Catur Aiswarya adalah suatu kerohanian yang memberikan kebahagiaan hidup lahir dan batin terhadap makhluk. Catur Aiswarya terdiri dari Dharma, Jnana, Wairagya dan Aiswawarya. Dharma adalah segala perbuatan yang selalu didasari atas kebenaran; Jnana artinya pengetahuan atau kebijaksanaan lahir batin yang berguna demi kehidupan seluruh umat manusia. Wairagya artinya tidak ingin terhadap kemegahan duniawi, misalnya tidak berharap-harap menjadi pemimpin, jadi hartawan, gila hormat dan sebagainya; Aiswarya artinya kebahagiaan dan kesejahteraan yang didapatkan dengan cara (jalan) yang baik atau halal sesuai dengan hukum atau ketentuan agama serta hukum yang berlaku di dalam masyarakat dan negara.

Asta Siddhi. Asta Siddhi adalah delapan ajaran kerohanian yang memberi tuntunan kepada manusia untuk mencapai taraf hidup yang sempurna dan bahagia lahir batin. Asta Siddhi meliputi: Dana artinya senang melakukan amal dan derma; Adnyana artinya rajin memperdalam ajaran kerohanian (ketuhanan); Sabda artinya dapat mendengar wahyu karena intuisinya yang telah mekar; Tarka artinya dapat merasakan kebahagiaan dan ketntraman dalam semadhi; Adyatmika Dukha artinya dapat mengatasi segala macam gangguan pikiran yang tidak baik; Adidewika Dukha artinya dapat mengatasi segala macam penyakit (kesusahan yang berasal dari hal-hal yang gaib), seperti kesurupan, ayan, gila, dan sebagainya. Adi Boktika artinya dapat mengatasi kesusahan yang berasal dari roh-roh halus, racun dan orang-orang sakti; dan Saurdha adalah kemampuan yang setingkat dengan yogiswara yang telah mencapai kelepasan.

Nawa Sanga. Nawa Sanga terdiri dari: Sadhuniragraha artinya setia terhadap keluarga dan rumah tangga; Andrayuga artinya mahir dalam ilmu dan dharma; Guna bhiksama artinya jujur terhadap harta majikan; Widagahaprasana artinya mempunyai batin yang tenang dan sabar; Wirotasadarana artinya berani bertindak berdasarkan hukum; Kratarajhita artinya mahir dalam ilmu pemerintahan; Tiagaprassana artinya tidak pernah menolak perintah; Curalaksana artinya bertindak cepat, tepat dan tangkas; dan Curapratyayana artinya perwira dalam perang.

Dasa Yama Bratha. Dasa Yama Bratha adalah sepuluh macam pengendalian diri, yaitu Anresangsya atau Arimbhawa artinya tidak mementingkan diri sendiri; Ksama artinya suka mengampuni dan dan tahan uji dalam kehidupan; Satya artinya setia kepada ucapan sehingga menyenangkan setiap orang; Ahimsa artinya tidak membunuh atau menyakiti makhluk lain; Dama artinya menasehati diri sendiri; Arjawa artinya jujur dan mempertahankan kebenaran; Priti artinya cinta kasih sayang terhadap sesama mahluk; Prasada artinya berfikir dan berhati suci dan tanpa pamerih; Madurya artinya ramah tamah, lemah lembut dan sopan santun; dan Mardhawa artinya rendah hati; tidak sombong dan berfikir halus.

Dasa Nyama Bratha. Dasa Nyama Bratha terdiri dari: Dhana artinya suka berderma, beramal saleh tanpa pamerih; Ijya artinya pemujaan dan sujud kehadapan Hyang Widhi dan leluhur; Tapa artinya melatih diri untuk daya tahan dari emosi yang buruk agar dapat mencapai ketenangan batin; Dhyana artinya tekun memusatkan pikiran terhadap Hyang Widhi; Upasthanigraha artinya mengendalikan hawa nafsu birahi (seksual); Swadhyaya artinya tekun mempelajari ajaran-ajaran suci khususnya, juga pengetahuan umum; Bratha artinya taat akan sumpah atau janji; Upawasa artinya berpuasa atau berpantang trhadap sesuatu makanan atau minuman yang dilarang oleh agama; Mona artinya membatasi perkataan; dan Sanana artinya tekun melakukan penyician diri pada tiap-tiap hari dengan cara mandi dan sembahyang.

Dasa Dharma. Yang disebut Dasa Dharma menurut Wreti Sasana, yaitu Sauca artinya murni rohani dan jasmani; Indriyanigraha artinya mengekang indriya atau nafsu; Hrih artinya tahu dengan rasa malu; Widya artinya bersifat bijaksana; Satya artinya jujur dan setia terhadap kebenaran; Akrodha artinya sabar atau mengekang kemarahan; Drti artinya murni dalam bathin; Ksama artinya suka mengampuni; Dama artinya kuat mengendalikan pikiran; dan Asteya artinya tidak melakukan kecurangan.

Dasa Paramartha. Dasa Paramartha ialah sepuluh macam ajaran kerohanian yang dapat dipakai penuntun dalam tingkah laku yang baik serta untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi (Moksa). Dasa Paramartha ini terdiri dari: Tapa artinya pengendalian diri lahir dan bathin; Bratha artinya mengekang hawa nafsu; Samadhi artinya konsentrasi pikiran kepada Tuhan; Santa artinya selalu senang dan jujur; Sanmata artinya tetap bercita-cita dan bertujuan terhadap kebaikan; Karuna artinya kasih sayang terhadap sesama makhluk hidup; Karuni artinya belas kasihan terhadap tumbuh-tumbuhan, barang dan sebagainya; Upeksa artinya dapat membedakan benar dan salah, baik dan buruk; Mudhita artinya selalu berusaha untuk dapat menyenangkan hati oranglain; dan Maitri artinya suka mencari persahabatan atas dasar saling hormat menghormati.

16. Açubhakarma (Perbuatan Tidak Baik). Acubhakarma adalah segala tingkah laku yang tidak baik yang selalu menyimpang dengan Cubhakarma (perbuatan baik). Acubhakarma (perbuatan tidak baik) ini, merupakan sumber dari kedursilaan, yaitu segala bentuk perbuatan yang selalu bertentangan dengan susila atau dharma dan selalu cenderung mengarah kepada kejahatan. Semua jenis perbuatan yang tergolong acubhakarma ini merupakan larangan-larangan yang harus dihindari di dalam hidup ini. Karena semua bentuk perbuatan acubhakarma ini menyebabkan manusia berdosa dan hidup menderita. menurut agama Hindu, bentuk-bentuk acubhakarma yang harus dihindari di dalam hidup ini adalah:

Tri Mala. Tri Mala adalah tiga bentuk prilaku manusia yang sangat kotor, yaitu Kasmala ialah perbuatan yang hina dan kotor, Mada yaitu perkataan, pembicaraan yang dusta dan kotor, dan Moha adalah pikiran, perasaan yang curang dan angkuh.

Catur Pataka. Catur Pataka adalah empat tingkatan dosa sesuai dengan jenis karma yang menjadi sumbernya yang dilakukan oleh manusia yaitu Pataka yang terdiri dari Brunaha (menggugurkan bayi dalam kandungan); Purusaghna (Menyakiti orang), Kaniya Cora (mencuri perempuan pingitan), Agrayajaka (bersuami isteri melewati kakak), dan Ajnatasamwatsarika (bercocok tanam tanpa masanya); Upa Pataka terdiri dariGowadha (membunuh sapi), Juwatiwadha (membunuh gadis), Balawadha (membunuh anak), Agaradaha (membakar rumah/merampok); Maha Pataka terdiri dari Brahmanawadha (membunuh orang suci/pendeta), Surapana (meminum alkohol/mabuk), Swarnastya (mencuri emas), Kanyawighna (memperkosa gadis), dan Guruwadha (membunuh guru); Ati Pataka terdiri dari Swaputribhajana (memperkosa saudara perempuan); Matrabhajana (memperkosa ibu), dan Lingagrahana (merusak tempat suci).
Panca Bahya Tusti. Adalah lima kemegahan (kepuasan) yang bersifat duniawi dan lahiriah semata-mata, yaitu Aryana artinya senang mengumpulkan harta kekayaan tanpa menghitung baik buruk dan dosa yang ditempuhnya; Raksasa artinya melindungi harta dengan jalan segala macam upaya; Ksaya artinya takut akan berkurangnya harta benda dan kesenangannya sehingga sifatnya seing menjadi kikir; Sangga artinya doyan mencari kekasih dan melakukan hubungan seksuil; dan Hingsa artinya doyan membunuh dan menyakiti hati makhluk lain.

Panca Wiparyaya. Adalah lima macam kesalahan yang sering dilakukan manusia tanpa disadari, sehingga akibatnya menimbulkan kesengsaraan, yaitu: Tamah artinya selalu mengharap-harapkan mendapatkan kenikmatan lahiriah; Moha artinya selalu mengharap-harapkan agar dapat kekuasaan dan kesaktian bathiniah; Maha Moha artinya selalu mengharap-harapkan agar dapat menguasai kenikmatan seperti yang tersebut dalam tamah dan moha; Tamisra artinya selelu berharap ingin mendapatkan kesenangan akhirat; dan Anda Tamisra artinya sangat berduka dengan sesuatu yang telah hilang.

Sad Ripu. Sad Ripu adalah enam jenis musuh yang timbul dari sifat-sifat manusia itu sendiri, yaitu Kama artinya sifat penuh nafsu indriya; Lobha artinya sifat loba dan serakah; Krodha artinya sifat kejam dan pemarah; Mada adalah sifat mabuk dan kegila-gilaan; Moha adalah sifat bingung dan angkuh; dan Matsarya adalah sifat dengki dan irihati.

Sad Atatayi. Adalah enam macam pembunuhan kejam, yaitu Agnida artinya membakar milik orang lain; Wisada artinya meracun orang lain; Atharwa artinya melakukan ilmu hitam; Sastraghna artinya mengamuk (merampok); Dratikrama artinya memperkosa kehormatan orang lain; Rajapisuna adalah suka memfitnah.

Sapta Timira. Sapta Timira adalah tujuh macam kegelapan pikiran yaitu: Surupa artinya gelap atau mabuk karena ketampanan; Dhana artinya gelap atau mabuk karena kekayaan;Guna artinya gelap atau mabuk karena kepandaian; Kulina artinya gelap atau mabuk karena keturunan; Yowana artinya gelap atau mabuk karena keremajaan;Kasuran artinya gelap atau mabuk karena kemenangan; dan Sura artinya mabuk karena minuman keras.

Dasa Mala. Artinya adalah sepuluh macam sifat yang kotor. Sifat-sifat ini terdiri dari Tandri adalah orang sakit-sakitan; Kleda adalah orang yang berputus asa; Leja adalah orang yang tamak dan lekat cinta; Kuhaka adalah orang yang pemarah, congkak dan sombong; Metraya adalah orang yang pandai berolok-olok supaya dapat mempengaruhi teman (seseorang); Megata adalah orang yang bersifat lain di mulut dan lain di hati; Ragastri adalah orang yang bermata keranjang; Kutila adalah orang penipu dan plintat-plintut; Bhaksa Bhuwana adalah orang yang suka menyiksa dan menyakiti sesama makhluk; dan Kimburu adalah orang pendengki dan iri hati.



Bab V
KESIMPULAN

17. Kitab Suci Weda yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi, merupakan ajaran ketuhanan yang mengajarkan tentang kekekalan maha tinggi. Weda merupakan jiwa yang meresapi seluruh ajaran Hindu, laksana sumber air yang mengalir terus melalui sungai-sungai yang amat panjang dalam sepanjang abad. Kitab Suci Weda dikenal pula dengan Sruti, yang artinya bahwa kitab suci Weda adalah wahyu yang diterima melalui pendengaran suci dengan kemekaran intuisi para maha Rsi. Juga disebut kitab mantra karena memuat nyanyian-nyanyian pujaan. Dengan demikian yang dimaksud dengan Weda adalah Sruti dan merupakan kitab yang tidak boleh diragukan kebenarannya dan berasal dari Hyang Widhi Wasa. Berdasarkan materi, isi dan luas lingkupnya, maka jenis buku weda itu banyak. Maha Rsi Manu membagi jenis isi Weda itu ke dalam dua kelompok besar yaitu Weda Sruti dan Weda Smerti. Pembagian ini juga dipergunakan untuk menamakan semua jenis buku yang dikelompokkan sebagai kitab weda, baik yang telah berkembang dan tumbuh menurut tafsir sebagaimana dilakukan secara turun temurun menurut tradisi maupun sebagai wahyu yang berlaku secara institusional ilmiah. Kelompok Weda Sruti isinya hanya memuat wahyu, sedangkan kelompok Smerti isinya bersumber dari Weda Sruti, jadi merupakan manual, yakni buku pedoman yang sisinya tidak bertentangan dengan Sruti. Baik Sruti maupun Smerti, keduanya adalah sumber ajaran agama Hindu yang tidak boleh diragukan kebenarannya. Hal ini tertuang dalam Manawa Dharmasastra Ayat 11.10 : “Sesungguhnya Sruti adalah Weda, demikian pula Smrti itu adalah dharma sastra, keduanya harus tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber ajaran agama Hindu”. Sebagai umat yang ingin mengaplikasikan langsung ajaran weda, semestinya menjadikan Smerti sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dinikmati langsung dalam bentuk kitab Mahabrata maupun Ramayana, maupun kitab purana lain yang sudah dengan mudah didapat ditoko buku. Dengan membaca kitab suci tersebut, maka akan memudahkan kita untuk memahami sraddha Hindu.
18. Setiap agama yang ada dan berkembang dimuka bumi ini, bertitik tolak kepada kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kepercayaan kepada Tuhan ini merupakan dasar kepercayaan agama Hindu. Inilah yang menjadi dasar pokok-pokok keimanan agama Hindu. Adapun pokok-pokok keimanan dalam agama Hindu dapat dibagi menjadi lima bagian yang disebut dengan Panca Sraddha, yaitu percaya adanya Tuhan (Brahman/Hyang Widhi), percaya adalanya Atman, percaya adanya Hukum Karma Phala, percaya adanya Punarbhawa (Reinkarnasi/Samsara) dan percaya adanya Moksah. Sebagai sumber dari segala sumber kehidupan di alam semesta ini, Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan alam semesta beserta isinya, termasuk diri-Nya sendiri, dan Tuhan masuk meresapi alam ciptaannya. Dalam skala yang lebih kecil tuhan menciptakan maluk hidup melalui penjiwaan. Penjiwaan mahluk hidup ini merupakan persenyawaan antara Atman (sinar suci Tuhan) dengan karma dari mahluk hidup tersebut. Hidup dan kehidupan dari mahluk hidup di dunia, khususnya manusia sangat ditentukan oleh persenyawaan/keterikatan Atman oleh karma manusia. Kelahiran manusia ke dunia disebabkan oleh adanya hukum Karma Phala, yaitu hukum sebab akibat yang mengatur kelangsungan hidup/proses alam semesta beserta isinya. Dalam konteks kelahiran manusia, ajaran Hindu meyakini adanya reinkarnasi atau Punarbhawa yang akan mampu menjawab keadilan Tuhan terhadap mahluk ciptaanya termasuk manusia. Keadilan Tuhan terhadap mahluk ciptaannya yang dimaksud disini adalah, untuk menjawab kenapa ada orang yang lahir dengan sehat, hidup dengan kedudukan terpandang, kaya dan berhasil dalam tugas. Sementara itu ada juga manusia yang hidup sebaliknya, alias sebagian besar hidupnya penuh penderitaan. Bagi manusia yang lebih banyak berbuat baik (Sudha Karma) dalam hidupnya, maka pada saat mati dia akan menerima hukuman siksa (neraka) lebih sedikit dan lebih dahulu, dan lalu akan menerima hukum kebahagiaan (sorga) kemudian dan lebih lama. Jika kelak lahir (Punaebhawa), maka disebut kelahiran sorga (Sorga Syuta). Jika sebaliknya akan disebut kelahiran Neraka (Neraka Syuta). Jadi apa yang kita hadapi dan terima dalam kehidupan ini, adalah akibat karma kita pada masa kehidupan sebelumnya. Lalu, kapan manusia terbebas dari penderitaan, jika manusia mampu melepaskan dirinya dari ikatan hukum Karma dan Punarbhawa, maka dia akan mencapi Moksah. Dengan demikian Moksah adalah pembebasan tertinggi manusia untuk menuju kehidupan kekal abadi (Mokshartam) yaitu bersatunya kembali Atman dengan Tuhan (Brahman).

19. Dalam pandangan Hindu alam semesta selalu digerakan oleh siklus rwabhineda, perbuatan atau kondisi itu terjadi dari dua sisi yang berbeda, yaitu perbuatan baik dan perbuatan yang tidak baik (buruk). Perbuatan baik ini disebut dengan Cubha Karma, sedangkan perbuatan yang tidak baik disebut dengan acubha Karma. Siklus cubha dan acubhakarma ini selalu saling berhubungan satu sama lain dan tidak dipisahkan. Demikianlah perilaku manusia selama hidupnya berada pada dua jalur yang berbeda itu, sehingga dengan kesadarannya dia harus dapat menggunakan kemampuan yang ada di dalam dirinya, yaitu kemampuan berfikir, kemampuan berkata dan kemampuan berbuat. Walaupun kemampuan yang dimiliki oleh manusia tunduk pada hukum rwabhineda, yakni cubha dan acubhakarma (baik dan buruk, benar dan salah, dan lain sebagainya), namun kemampuan itu sendiri hendaknya diarahkan pada çubhakarma (perbuatan baik). Karena bila cubhakarma yang menjadi gerak pikiran, perkataan dan perbuatan, maka kemampuan yang ada pada diri manusia akan menjelma menjadi prilaku yang baik dan benar. Sebaliknya, apabila acubhakarma yang menjadi sasaran gerak pikiran, perkataan dan perbuatan manusia, maka kemampuan itu akan berubah menjadi perilaku yang salah (buruk). Sebagai umat manusia yang dilengkapi dengan kemampuan berakal dan berfikir, sudah sepantasnya akan selalu memilih untuk selalu berprilaku baik (subha Karma) dibanding dengan (tidak sengaja) berprilaku tidak baik (asubha Karma). Kenapa? Karena dengan banyak berbuat baik, maka kita mampu memperbaiki kualitas kehidupan kita sebagai manusia, dalam setiap kelahiran kita kembali ke dunia. Jika manusia memiliki kualitas kehidupan yang baik (bahagia) di dunia, maka sudah menjadi modal utama untuk memperoleh kebahagian yang kekal (moksah). Hal ini sesuai dengan sloka : “Mokshartam Jagatdhita ya ca iti dharma”. Artinya: Kebahagiaan di dunia untuk mencapai kebahagian abadi melalui dharma (kewajiban baik sesuai ajaran agama). Tentunya tidak cukup hanya berbuat baik, untuk mencapai moksah, harus ada penuntun lain seperti meditasi, yang juga harus dituntun oleh jalan (marga) yoga masing-masing. Tentang meditasi dan yoga sangat penting untuk dilaksanakan, sebab hanya dengan jalan itulah kehidupan abadi (moksah) dapat tercapai. Tetapi dengan hanya menjalankan meditasi dan yoga, tanpa melalui pemahaman tentang keyakinan Hindu (sraddha) dan melakukan perbuatan baik (subha karma) untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan kita, mustahil juga moksah dapat dicapai. Pertanyaan terakhir: Kok sulit sekali? Ya, memang sulit, namun harus dicoba, hanya dengan mencoba terus dan terus mencoba, maka kita pasti akan berhasil.








Bab VI
PENUTUP

20. Manusia termasuk kita semua telah terlanjur mengaku sebagai mahluk sempurna ciptaan Tuhan. Kita juga telah terlanjur dibekali dengan akal dan pikiran oleh Tuhan (bukti kesempurnaan) untuk bisa digunakan dalam setiap kesempatan (mumpung masih bisa digunakan). Oleh sebab itu marilah kita gunakan akal dan pikiran tersebut dengan sebaik-baiknya untuk selalu berupaya meningkatkan kualitas kehidupan kita saat ini, agar memperoleh kesempatan hidup dengan kualitas kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Penggunaan akal dan pikiran akan lebih mencapai sasaran, jika dilakukan melalui proses belajar, baik mempelajari kitab suci Weda, belajar meningkatkan sraddha, dan belajar untuk selalu berupaya berbuat baik (subha karma). Hanya dengan cara demikianlah keyakinan kita akan kebenaran ajaran Hindu dalam diri kita dapat ditingkatkan secara terus menerus dari waktu kewaktu sepanjang hidup ini. Namun itupun belumlah cukup, jika ingin mencapai tujuan tertinggi manusia dalam agama Hindu yaitu “Morkshartam jagatdhita ya ca iti dharma”, masih banyak ajaran maha penting untuk menuju kejalan itu, seperti meditasi, yoga dan lain-lain (yang akan diberikan oleh pembicara lain dan dalam lain kesempatan), sekaligus untuk meningkatkan sraddha kita sebagai umat Hindu.
-------------------------


Jakarta, 28 Agustus 2009

No comments: