Popular Posts

Tuesday, May 22, 2007

IDEALISME WORTEL, TELOR DAN KOPI

Idealisme antara WORTEL, TELOR DAN KOPI

Membaca judul diatas, mungkin pembaca bertanya. Apa itu idealisme antara telor, wortel dan kopi? Tidak bermaksud membuat sensasi, agar tulisan ini dibaca. Mencoba dengan judul lain, seperti wortel telor dan kopi menjadi WTK atau dibalik telor, kopi dan wortel menjadi TKW, rasanya kurang pas. Bahkan dengan singkatan wortel, telor dan kopi menjadi woteko, atau dibalik wortel, kopi dan telor menjadi telkotel, juga kurang enak didengar. Judul tersebut dibuat untuk menggambarkan idealisme seseorang dilihat dari sikap, prilaku atau attitude yang ditampilkan dengan simbul wortel, telor dan kopi. Sebagai hiperbolisme belaka.

Terkadang atasan, bawahan, teman dan kerabat kita dalam suatu kesempatan bersikap santun, bijak dan ramah tamah. Namun kita juga pernah melihat mereka bersikap tidak simpati, dan kita kaget dibuatnya. Kita mencoba mencari tahu, dan bersikap empati, kenapa orang yang begitu santun, bijak dan ramah tamah, tiba-tiba bersikap tidak seperti biasanya. Pencarian kita ada kalanya berhasil, namun hasilnya belum tentu benar. Demikianlah manusia, mahluk yang mengaku sempurna, namun ternyata tidak sempurna. Ketika situasi tenang, damai dan tanpa ada tekanan, seseorang cenderung menunjukan prilaku baik, ramah dan sopan. Masyarakat sekitar menilai orang tersebut memiliki prilaku baik dan tidak macam-macam. Sebagai mahluk yang memiliki rasa, cipta dan karsa, manusia ada kecenderungan ingin dinilai baik, sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat beradab.

Situasi dan lingkungan, saat seseorang berinteraksi dengan masyarakat sekitar, berpengaruh terhadap sikap dan prilakunya. Untuk bisa mengetahui sikap dan prilaku seseorang secara pastilah sangat sulit. Pada dasarnya, dalam diri manusia terdapat dua karakter yang saling berbeda, baik buruk, jujur culas, sopan brangasan, pendiam clometan, penyabar grasa grusu dan lain-lain. Manusia pada umumnya akan menampilkan sikap dan prilaku sehari-hari dari sisi baik saja. Pada situasi tertentu, sifat jelek yang biasanya tersembunyi akan muncul secara tiba-tiba. Kemunculan tiba-tiba tersebut, disebabkan seseorang sedang menghadapi situasi tegang, kritis, tidak terkontrol atau situasi sulit lainnya, yang tidak dapat dihadapi dengan cara-cara seperti biasa.

Situasi diatas diistilahkan dengan intensitas ketegangan tinggi digambarkan dengan panasnya air, sebagai simbul dari situasi sulit, penuh dengan resiko dan terkadang bersifat fatamorgana, serta tidak banyak pilihan. Situasi sulit yang yang digambarkan dengan air panas akan merubah karakter wortel, telor dan kopi, beserta dampak yang ditimbulkannya. Saat menghadapi intensitas ketegangan tinggi, ada kecenderungan seseorang menampilkan prilaku yang selama ini “disembunyikan”. Menghadapi hal demikian, banyak kalangan mengatakan, orang tersebut sedang muncul sikap dan prilaku aslinya. Sebenarnya kondisi tersebut bisa diatasi, jika seseorang telah cukup pengalaman hidup, latar belakang pendidikan memadai, serta mampu mengeksploitasi idealisme yang ada dalam dirinya. Idealisme inilah yang menjadi bahasan tiga perumpamaan wortel, telor dan kopi, jika seseorang menghadapi situasi tertentu dalam lingkungannya.

Pertama, Prilaku yang digambarkan sebagai wortel pada dasarnya adalah prilaku baik, dan banyak kita jumpai di lingkungan disekitar. Coba perhatikan sebuah umbi wortel, yang masih ada daunnya dan telah dicuci pula. Secara fisik penampilan wortel terlihat menarik manis dan cantik. Perpaduan warna kontras antara orange dan hijau, bentuk fisik yang meruncing simetris nampak kokoh dan cukup keras, adalah gambaran keindahan dan kekuatan. Bahkan terasa manis dan bergizi lagi, bila minum juice wortelnya. Namun apa yang terjadi saat wortel direbus, berubah lembek dan rapuh. Warna masih tetap sama. Disantap terasa enak. Analogi wortel yang berubah lembek setelah direbus, merupakan gambaran seseorang yang tidak mampu melakukan penyesuaian diri dalam lingkungan situasi intensitas tegangan tinggi. Sikap dan prilaku baik yang selama ini ditampilkan, tidak mampu membendung godaan, sehingga berubah dan kehilangan idealisme. Secara kasat mata dia tetap teman baik dan menyenangkan.

Gambaran idealisme seperti wortel dalam kehidupan sehari-hari, sering kita temui. Banyak rekan kita yang dikenal baik, memiliki idealisme dan berkarakter, namun gagal setelah berhadapan dengan situasi sulit. Godaan materi, wanita dan kekuasaan meluluhkan pribadi kuat yang selama ini dijadikan idola dan panutan bawahan. Tidak jarang terjadi, seseorang yang begitu soleh, berkali-kali dipercaya sebagai penasehat pasangan menikah, dan menjadi panutan bawahan, karena kerukunan rumah tangganya, gagal memelihara idealisme. Apa yang terjadi ? Ketika pensiun, isteri sakit-sakitan, anak-anak tidak terurus dan ternyata punya “momongan” baru. Demikian juga seseorang yang dikenal disiplin saat masih dinas aktif, setelah pensiun, mencoba tengok rumput tetangga. Silau….., lalu mencoba menceburkan diri ke bisnis kayu ilegal, memanfaatkan fasilitas rekan yang lagi berkuasa, sampai masuk penjara. Dan banyak juga yang terlalu percaya diri dengan kemampuan, namun tidak terkendali, ketika harapan mendapat kedudukan lebih tinggi tidak tercapai, malah bunuh diri, atau sakit-sakitan karena frustrasi. Dalam menjalani kehidupan ini, kita perlu idealisme. Sikap dan prilaku baik, yang selama ini mampu ditampilkan, perlu terus dijaga dan jangan seperti wortel, ketika direbus jadi rapuh.

Pada dasarnya, kebanyakan masyarakat kita dibentuk oleh manusia-manusia dengan karakter wortel. Sopan santun, ramah tamah, lemah lembut dan berbagai kata-kata sejenis yang menunjukan sejatinya bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Karakter feminim tersebut, disatu sisi cukup positif untuk memberikan nilai-nilai baik terhadap keberadaban bangsa, namun memiliki sisi-sisi negatif dalam kerangka membentuk manusia Indonesia yang berkarakter. Setidaknya perubahan karakter dalam tulisan Jawa dapat menjadi contoh gambaran karakter wortel tersebut. Hal ini tergambarkan dari perubahan bunyi hurup hidup dalam tulisan Jawa, berubah menjadi hurup mati ketika diberi “taleng”. Terkadung makna bahwa pujian, sanjungan dan godaan lainnya dapat meluluhkan idealisme seseorang. Dan bukan hanya orang Jawa saja, bahkan semua orang Indonesia memiliki kecenderungan akan kelemahan ini. Menyadari bahwa kita memang manusia lemah, namun dikarunia berbagai kelebihan, maka semestinya kita mampu mengeksploitasi berbagai kelebihan tersebut, sebagai kekuatan yang mampu memberikan nilai tambah yang berlipat. Sebaliknya kita juga berupaya untuk mengeleminir setiap kelemahan yang terdeteksi dalam diri kita, dengan selalu waspada dan sadar, bahwa setiap kelemahan tersebut dapat menjadi batu sandungan. “Eling lan waspodo”, demikian kalimat yang selalu menjadi bahan wejangan bagi masyarakat aliran kepercayaan, sangat baik jadikan eliminator terhadap kelemahan yang ada dalam diri sendiri.

Kedua, prilaku yang digambarkan sebagai telor, juga menampilkan banyak sisi baiknya. Telor dengan warna putih, kemerahan dan bahkan ada kebiruan dengan bentuk bulat lonjong simetris, menampilkan keindahan bila dipandang. Cairan bening putih telor dan kuning telor yang ada didalamnya, walau encer tidak pernah bersatu, sehingga tetap indah dan menarik. Lalu, apa yang terjadi ketika telor tersebut direbus ? Secara fisik masih tetap nampak sama. Bahkan jauh lebih enak, bila dimakan. Namun isi di dalamnya mengeras, tidak encer lagi. Analogi telor mengeras setelah dimasak, merupakan gambaran prilaku seseorang yang berubah dan mengeras, bila berhadapan dengan situasi yang memiliki intensitas ketegangan tinggi. Panutan kita yang semula kelihatan berpenampilan lemah lembut, menarik dan luwes dalam pergaulan, bisa jadi berubah, mengeras dan cenderung berprilaku ekstrim mempertahankan prinsip dan idealisme yang diyakini benar. Tidak mau lagi menerima nasehat dari rekan. “Keukueh”, kata orang Bandung.

Dalam kehidupan sehari-hari, cukup banyak rekan, atau siapa saja dilingkungan kita, berprilaku seperti diatas. Terhadap prinsip yang diyakini benar, mereka bertahan, tidak mau menerima masukan dan pandangan orang lain. Ada kalanya, tidak mampu mengendalikan diri, agresip, memaksakan kehendak dan suka “mutung” bila pendapatnya tidak dipakai. Ciri lainnya, mengagung-agungkan diri sendiri, sambil menutupi kelemahannya. Lebih celaka lagi, merasa hanya prinsipnya yang paling benar. Dan fatalnya, menyerang dan menjelek-jelekan orang lain. Banyak di antara mereka yang tergolong dalam kategori idealisme ini adalah kaum intelektual, namun kurang memiliki strategi dalam menghadapi berbagai situasi yang dihadapi. Perpaduan antara kecerdasan, keberanian dan sikap terus terang, kadang kala tidak bisa diterima oleh lingkungan, entah rekan, atasan dan masyarakat sekitar. Meminjam istilah mantan Mendagri, Alm. Jenderal TNI (Pur) Rudini, orang yang berpenampilan demikian ibaratnya ‘rudal rusak’, dipakai tidak mencapai sasaran, dipelihara berbahaya.

Sebenarnya masyarakat sekitar menaruh hormat kepada mereka yang memiliki idealisme dan karakter seperti digambarkan di atas. Ada kecerdasan, keberanian dan karakter kuat dalam dirinya, sehingga menimbulka rasa percaya diri berlebihan dan namun kurang bersikap empati terhadap orang lain. Dalam situasi tertentu, seperti tidak adanya panutan dari pemimpin, memungkinkan munculnya pemimpin idealis seperti ini. Dan mereka menjadi dambaan masyarakat sekitar, biasanya berhasil. Mereka juga sangat giat dan ulet mengajak unsur yang dipimpin untuk maju, mencapai prestasi semaksimal mungkin. Sayangnya, setiap keberhasilan yang akan dicapai, juga akan menjatuhkan kebesarannya, sebab mereka sombong dan arogan. Malang bagi mereka, kejatuhannya juga sangat menyakitkan, sebab mereka tidak menyadari, bahwa ada pihak lain yang ingin muncul jadi pemimpin sukses, bila perlu dengan segala cara. Apa lacur, mereka dengan idealisme seperti ini, tidak menyadari bahwa telah terjadi perubahan situasi, “power syndrome” membayangi dirinya, dan memperparah kejatuhannya. Menyikapi idealisme yang demikian dalam diri kita, marilah kita rajin tengok kanan dan kiri, serta kebelakang, untuk memfungsikan kendali-kendali diri. Diharapkan pada episode akhir dari masa tugas kita, diwarnai senyum dan saling tegor sapa, bila bertemu, entah dimana.

Ketiga, prilaku yang digambarkan sebagi Kopi. Coba dialihkan imajinasi kita sejenak dan bayangkan sekotak kopi serbuk hitam. Warnanya memang hitam, namun tidak sepenuhnya hitam, agak kecoklatan. Berupa serbuk, lembut dan aromanya, wah… sedaaap!. Tidak terkecuali yang suka minum kopi, atau tidak, semua menyukai aromanya. Terlebih kopi sekarang yang telah dicampur susu, kopi tree in one, sekalian dengan gula. Hitam manis, demikian pantasnya disebut, dan juga beraroma. Nah, bagaimana bila diseduh air panas ? warna jelas masih hitam, sudah pasti lembut karena berupa cairan, dan aromanya masih tetap wah………! Tidak ada yang berubah. Analogi kopi ini, dimaksud menggambarkan seseorang yang memiliki idealisme dengan karakter yang kuat. Mampu menyesuaikan diri dengan segala situasi disekitar, tanpa pernah ada perubahan berarti dalam sikap dan prilakunya. Orang dengan sikap dan prilaku demikian, senantiasa mampu menempatkan dirinya ditengah lingkungan apapun dan diterima masyarakat sekitar. Dalam situasi senang, mereka tidak tertawa terbahak, bahak. Bila dicemooh, mereka masih tersenyum. Dan bila situasi sulit, mereka masih tetap tenang. Sikap dan prilaku demikian memberi keteduhan pada masyarakat sekitar.

Dalam kehidupan sehari-hari, sosok demikian relatif langka, namun ada dan cukup banyak. Keberadaan mereka, seperti orang kebanyakan, memiliki berbagai kelebihan sikap dan prilaku seperti digambarkan pada analogi sebelumnya. Bedanya, bila berhadapan situasi dengan intensitas ketegangan tinggi, yang muncul dalam diri dan penampilannya adalah ketenangan. Segala sesuatu dihadapi dengan tenang, penuh wibawa dan kerendahan hati, serta berempati dengan masyarakat sekitar. Tutur katanya teduh dalam memberi nasehat dan bimbingan kepada yang memerlukan. Tidak ada indikasi provikatif dalam wejangannya, namun semuanya nasehatnya berupa pandangan akan pilihan hidup, beserta akibat yang akan dihadapi dalam pilihan masing-masing. Kesan positif, seperti kedewasaan, kearifan, bijaksana dan sifat kenegarawanan ada pada diri mereka. Motovasi bekerja yang ada pada dirinya bersifat tulus, tanpa pamerih, namun penuh dengan tanggungjawab. Memahami antara hak dan kewajiban yang menjadi dasar dalam tindakannya. Dan rasa takut yang ada pada dirinya, adalah takut bila berbuat salah.

Menjadi orang idealis sebagaimana dianalogikan kopi tidaklah sulit. Setidaknya ada tiga kategori sosok idealis yang ada dalam masyarakat kita, yaitu : Pertama, masyarakat desa yang lugu dan menjalankan kepatuhan akan norma kebenaran sebagai prinsip dalam hidup. Semisal dalam tayangan “Toloooong” di sebuah stasiun televisi swasta. Saat seorang nenek tua penjual beras, menolak hadian jutaan rupiah yang diberikan oleh petugas televisi, pemandu acara tersebut. Bagi si nenek tua yang sederhana, bantuan kepada penjual sayuran kol (yang perannya telah dipersiapkan oleh stasiun televise) murni sebagai keikhlasan untuk membantu sesama. Tidak ada pamerih, tulus dan jujur. Kedua, adalah kaum intelektual profesional yang mampu menerapkan prinsip propesional dalam menjalankan tugas. Para profesional akan menggunakan kecerdasan intelektual dalam mengemban tugas dan tanggung jawab. Tidak ada rasa canggung, terlebih rasa takut, ketika harus mengatakan kebenaran, apapun resikonya. Ketiga, Kaum birokrat yang mampu menerapkan idealime dalam situasi yang dianggap memungkinkan. Namun dalam situasi yang tidak memungkinkan, mereka tidak larut dan terbawa arus. Ibarat ikan di laut laut, tidak akan pernah berubah jadi ikan asin.

Saat berdiskusi tentang idealisme sering muncul pertanyaan, kenapa kebanyakan orang idealis tersingkir dari pergaulan, atau tidak dipakai oleh pimpinan ? Gambaran idealis sekelompok orang seperti digambarkan dalam pertanyaan tersebut, sangat mungkin tidak mampu melihat seutuhnya idealis sebenarnya orang dimaksud. Malah perlu ditanya balik, apakah benar yang dimaksud itu, orang idealis ? Sikap dan prilaku seseorang yang ditampilkan sesaat kepada kita, tidaklah mampu memberi gambaran tentang sikap dan prilaku sejatinya, terlebih untuk mengetahui kadar idealisme yang ada padanya. Kecenderungan menutupi sifat dan prilaku jelek, sangat manusiawi. Namun demikian, janganlah membiasakan menumpuk kejelekan, sembari menutupinya. Biasakan berbuat baik, namun tidak mengobral cerita tentang kebaikan pribadi secara sembarangan.

Ada kalanya rekan bertanya menguji kadar idealisme kita. “Jika ada sepulung orang, sembilan diantaranya gila, apakah bisa yang satu orang menyebut dirinya waras?” Pertanyaan tersebut sebenarnya merupakan perangkap bagi yang tidak menyadari. Apabila terbawa oleh logika yang terkandung dalam pertanyaan tersebut, sudah pasti kita terperangkap. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak yang terperangkap dalam kebenaran menurut pandangan umum. Kesalahan yang diperbuat berulang kali, terlebih oleh seorang pemimpin, lama kelamaan dianggap benar. Lebih parah lagi, tidak ada yang berani meluruskan, dan anehnya, banyak yang meniru. Dalam situasi demikian, terkadang orang yang mengetahui kebenaran takut dituduh salah, sehingga membiarkan kebenaran tersebut dianggap salah. Akhirnya memilih jadi gila, untuk dapat diterima di lingkungan orang gila. Sungguh malang nasibnya. Seandainya ada kadar idealisme yang cukup dalam diri kita, mungkin kita tidak perlu gila dulu untuk bisa dianggap orang waras. Mengutip goro-goronya Pangeran Joyoboyo, “Saat ini memang jaman edan, bila tidak ikut edan, maka tidak kebagian. Tetapi sangat jauh beruntung bila jadi orang waras, karena orang waras akan selamat dari mara bahaya”. Seandainya ada yang telah kebagian cukup banyak dijaman edan ini, maka ke depan, marilah kita cari keberuntungan dengan menjadi orang waras. Mudah-mudahan terhindar dari mara bahaya.

Kembali pada ke idealisme wortel telor dan kopi, ada baiknya hiperbolisme tersebut dijadikan ‘joke’ untuk mengingatkan bawahan, rekan atau atasan sekalipun, agar tidak salah tindak dalam bertugas. Bagi siapa saja yang sedang menduduki jabatan bagus atau basah, kita tidak boleh iri hati. Sebaliknya kita wajib mengingatkan, bila mereka nampak mulai miring atau menyimpang, dengan gurauan “awas… jangan jadi wortel loe….!”. Bagi yang diingatkan, jangan marah atau lupa diri, balik balas : “Ah, jangan ributlah, nanti ku kirim kau juice wortel”. Sebaiknya cepat sadar, bahwa ada bau tak sedap yang dirasakan orang diluar sana. Berbenah, kembali ke jalan yang benar. Ameeeen!

Begitu juga bagi yang mulai agak ektrim atau terlanjur, dan sulit diingatkan, boleh juga ditegor : “Ah, telorlah kau”. Bagi yang disindir demikian, jangan pula marah, sambil membalas : “kau makanlah itu”. Sebaiknya mulai sadar, bahwa jadi ‘rudal rusak’ itu tidak terpuji. Berkacalah kepada para veteran kita, yang rajin datang saat diundang upacara hari nasional atau hari ulang tahun satuan. Tampaknya mereka menikmati suasana itu. Duduk manis dengan tertib, sambil mengenang kejayaan dan keindahan kenangan masa lalu. Bak senapan antik, walaupun tidak bisa ditembakkan karena sudah tua, namun masih dipajang sebagi hiasan dinding, dan bernilai tinggi.

Sedangkan bagi yang memiliki penampilan baik, sederhana, luwes dan diterima lingkungan, cerdas lagi, serta berbagai kelebihan yang ada padanya, bila disindir teman dengan kata-kata : “wah… ini baru ….kopi”, jangan lupa diri. Mendapat predikat kopi, jangat geer dan sombong. Atau ada juga yang mengeluh, sebab kata orang jawa, mereka ini “mumpuni’, banyak dipakai atasan.
Namun, karena banyak dipakai dan membantu pimpinan, kadang kala lupa dipromosikan. Bila saja ada yang merasakan situasi seperti ini, jangan malah membalas : “emang “kopi”kir enak jamuran”. Bersabarlah!, orang yang baik dan pintar, dapat diandalkan pimpinan dan diterima lingkungan, pasti tidak akan jamuran. Saatnya nanti, ada promosi untuk anda. Ameeeen…!

Jakarta, 2 Mei 2007
KABAB OPINI ROHUMAS


KOLONEL KAV I WAYAN MIDHIO

ANTARA HAK DAN KEWAJIBAN

ANTARA HAK DAN KEWAJIBAN

Banyak diantara kita sering memperdebatkan “hak” dan “kewajiban”, tanpa pernah tahu makna keduanya. Perdebatan tentang kedua pokok bahasan tersebut sering menghias berbagai media cetak, namun terhenti seiring munculnya isu baru. Sementara itu diskusi atau lebih tepat disebut debat kusir tentang keduanya dikala mengisi waktu senggang, juga akan berhenti ketika cawan kopi telah kosong atau warung kopi telah saatnya ditutup. Kedua kelompok diskusi yang tersebar diseluruh pelosok kota hingga ke desa-desa, tidak pernah menghasilkan rangkuman yang dapat dijadikan acuan diskusi berikutnya. berbicara tentang hak, sebagian kalangan mengartikan hak sebagai milik pribadi yang melekat pada manusia. Sebagai milik pribadi, maka mereka beranggapan, hak bisa digunakan dan bisa juga tidak. Perdebatan masalah ini sering dijumpai menjelang Pemilu. Sebagian kalangan mengatakan, bahwa merupakan hak pribadi setiap warga Negara menggunakan hak pilihnya, ataupun sebaliknya. Sepertinya kelompok yang menggunakan logika ini, sedang tidak ada ‘mood’ ikut nyoblos pemilu dengan berbagai latar belakang. Mereka menggunakan pembenaran, hak sebagai milik pribadi, sehingga bisa digunakan dan bisa juga tidak. Tidak tanggung-tanggung mereka mendeklarasaikan diri sebagai golongan putih alias ‘gol-put’. Nampaknya mereka tidak bisa tampil pede, dan tidak segan-segan mengajak dan bahkan ‘memaksa’ orang lain ikut bergabung, agar mau tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu.

Pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan memiliki tanggungjawab dalam penyelenggaraan pemilu mempunyai jurus lain, untuk mengajak masyarakat melaksanakan haknya. Kalangan pemerintah, meminta agar masyarakat menyeimbangkan antara hak dan kewajiban sebagai warga negara. Masyarakat secara individu memiliki hak memilih dan dipilih dalam pemilu, yang tidak bisa dikurangi oleh siapapun. Namun sebagai masyarakat, juga ada kewajiban yang harus dilaksanakan terhadap negara. Antara hak dan kewajiban dalam kehidupan bernegara harus seimbang. Jika masyarakat memiliki hak pilih, maka ada juga kewajiban untuk memilih.

Sulit memang membedakan antara hak dan kewajiban dalam tataran pelaksanaan. Saat diskusi tentang rekonsiliasi kerusuhan Sampit, seorang peserta dengan lantang berteriak, saya hadir ditempat ini, sebagai wakil dari kabupaten Kota Waringin Timur memiliki hak berbicara untuk menyampaikan kebenaran kejadian dilapangan saat kerusuhan. Dengan tenang pemimpin diskusi menjawab, merupakan kewajiban bagi bapak untuk berbicara menyampaikan kejadian sebenarnya. Lain hal dengan hak setiap warga Negara untuk mendapat pendidikan. Seorang anak berhak mendapat pendidikan sampai SMP, atau setiap anak wajib belajar sampai SMP. Bagi Pemda yang mampu mendanai pendidikan, maka anak-anak diwajibkan belajar hingga SMP tanpa pungutan biaya. Sementara Pemda yang kurang memperhatikan pendidikan, masyarakat akan berdemo menuntut hak mendapat pendidikan gratis. Jelas disini bahwa hak dan kewajiban telah dijadikan alat oleh pihak tertentu dalam memperjuangkan kepentingan.

Penerapan antara hak dan kewajiban dalam kehidupan sehari-hari sebagai individu, terkadang terasa sulit dibedakan dan banyak yang tidak paham. Ketika saya mengajar pendidikan kewiraan di salah satu akademi, saya ditanya oleh seorang mahasiswi, dengan pertanyaan “Apakah sebagai warga Negara, kita boleh melaksanakan hak pilih kita dalam pemilu, atau boleh juga tidak melaksanakannya?. Sebab hak itu adalah milik kita yang hakiki dan tidak ada yang bisa melarangnya”. Sebagai seorang dosen kewiraan dan juga Dandim, tidaklah mungkin mengajurkan masyarakatnya untuk tidak ikut pemilu. Tetapi di alam reformasi seperti ini, sulit juga memaksakan kehendak, agar masyarakat ikut dalam pemilu. Saya tidak menjawab pertanyaan tersebut, namun saya balik bertanya. Apakah seorang ibu yang menyuapi anaknya, sedang melaksanakan hak atau kewajiban sebagai seorang ibu? Serempak mahasiswi dalam ruangan, yang kebetulan semuanya ibu-ibu pegawai di dinas kesehatan menjawab : “Ya kewajiban dong, pak….”. Saya bertanya lagi, coba diingat, ketika ibu menyuapi anak, apakah ibu bilang “kewajiban,kewajiban” atau “hak,hak”, sehingga anak itu mau buka mulut lalu bisa ibu suapi? Suasana ruangan menjadi hingar bingar, ada yang tersipu, tersenyum, tertawa dan berkomentar, “Ah…. bapak ada saja”. Mengakhiri kuliah kewiraan saat itu, saya tutup dengan pernyataan : “Masak hare….. geneeee…….. tidak tahu beda antara hak dan kewajiban, kalah dengan anak-anak yang masih disuapi”.

Cerita tentang hak dan kewajiban juga sering muncul dilingkungan satuan. Ketika masih Letnan di batalyon, saya dan beberapa rekan Danton lainnya pernah ditanya oleh komandan kompi. Berapa gajimu sebelum dipotong macam-macam? Saya tidak bisa menjawab, sebenarnya ingin berbohong, dan berpikir toh tidak mungkin Danki akan mengecek gaji saya. Namun saya urungkan niat tersebut dan saya jawab singkat : “Siap… tidak tahu, Dan“. Kami semua terkejut, ternyata komandan marah. Dengan kejujuran menjawab tersebut, saya berpikir Danki akan menghargai sikap saya. Ternyata sebaliknya. Sambil tetap jaga wibawa atau istilah sekarangnya jaim, Danki mengkuliahi kami. “Mana mungkinlah kau bisa melaksanakan kewajiban, bila tidak tahu hak kau”. Kami tidak ada yang berani berkomentar, selain menjawab dengan kata-kata “siap” berulangkali, sambil terus sikap sempurna. Perkuliahan Danki saat itu tidak sempat didiskusikan diantara teman-teman sesama Danton. Meski tidak pernah dibicarakan lagi, namun dalam hati kecil kita boleh bertanya : “Apakah betul bila tidak tahu besarnya gaji, berarti tidak bisa melakukan kewajiban?”. Pertanyaan tersebut mungkin tak perlu dijawab, sebab sebagian besar dari kita hingga kini, tidak pernah tahu secara pasti berapa besarnya gaji yang diterima setiap bulan.

Ada cerita lain tentang hak dan kewajiban dalam pengalaman tugas saya. Pada pelaksanaan tugas pengamanan salah satu pemilu di Sulawesi Selatan, saya menjabat sebagai Dan SSK. Menjelang selesai penugasan yang telah berlangsung sekitar dua setengah minggu, pimpinan menyampaikan bahwa akan ada dukungan dana terakhir. Total lama penugasan dalam pertanggungjawaban keuangan lebih banyak tujuh hari dari pada pada masa penugasan, yang kebetulan dipercepat. Kewajiban prajurit adalah menandatangi sesuai buku pertanggungjawaban keuangan, namun hak yang diberikan hanya selama penugasan. Dalam konteks ini, kewajiban diartikan sebagai tanda tangan, sedangkan hak sebagai lama waktu penugasan. Semestinya kewajiban prajurit melaksanakan tugas pengamanan sesuai lama waktu penugasan. Sedangkan hak prajurit adalah menerima sejumlah uang sesuai dengan apa yang ditandatangani dalam lembar pertanggungjawaban keuangan.

Hal lain berkaitan dengan hak dan kewajiban, saya peroleh saat bertugas di salah satu KBRI. Ketika selesai memperbaiki bagian depan ruang tamu rumah dinas Athan, salah seorang staf menganjurkan, agar saya mencantumkan nama dan waktu perbaikan. Alasannya supaya dikenang orang. Saran tersebut cukup menarik perhatian. Sebab pada banyak gedung yang dibangun atau direnovasi, diketemukan prasasti yang berisi waktu dan nama pejabat. Setelah merenung beberapa waktu, saya teringat saat diskusi dengan seorang guru spiritual. Perbincangan dengan guru tersebut, sekitar buku suci agama Hindu yaitu ”Bhagawadgita”. Akhirnya saya putuskan tidak mencantumkan identitas saya pribadi pada bangunan tersebut.

Salah satu kalimat dalam buku suci Bhagawadgita yang berarti Nyanyian Tuhan, menceritakan tentang wejangan Sri Kresna kepada Panglima Perang Pandawa, Arjuna sesaat sebelum Bhratayudha dimulai. Sri Kresna memberikan semangat dan dorongan moril kepada Arjuna agar mau berperang. Karena sebelumnya Arjuna melemparkan busur dan melepas anak panah dari gendongannya, saat menyaksikan kekuatan pasukan kedua belah pihak siap bertempur di medan Kuru Setra. Arjuna berkata kepada Sri Kresna, untuk apa saya berperang, sebab yang saya hadapi adalah saudara sendiri. Kakek, guru, paman, saudara dan kerabat semua berada diseberang sana. Jika saya menang, apa artinya kemenangan atas kematian saudara sendiri. Apakah pantas seorang kesatria besar, panglima perang keluarga Pandawa yang dohormati, menikmati kemenangan diatas bangkai sanak saudara. Setelah Arjuna menyampaikan kehancuran hatinya, jika harus membunuh semua sanak saudara yang menjadi musuh di Kuru Setra, akhirnya terduduk dan memeluk kaki Sri Kresna serta minta mundur sebagai panglima perang.

Melihat sikap Arjuna yang linglung tersebut, dengan panjang lebar Sri Kresna memberi wejangan kepada Arjuna tentang kewajiban seorang kesatria di medan perang, ya harus membunuh demi tegaknya kebenaran dan keadilan. Bila tidak membunuh, akan dibunuh oleh musuh. Tidak pandang bulu siapapun yang berada dipihak musuh, entah saudara, kakek, paman, guru sekalipun. Mereka juga kesatria gagah berani, yang harus berperang dan membunuh siapapun yang menjadi musuhnya. Mereka sedang menjalankan Dharma (kewajiban) untuk membela Negara. Mereka semua orang-orang baik yang kebetulan berada dipihak Duryadana yang jahat. Takdir telah menempatkan mereka berhadapan dengan mu, wahai Arjuna. Maka takdirmu juga sebagai seorang kesatria, wajib membunuhnya. Terkait dengan penjelasan tadi, ada satu kalimat dalam wejangan Sri Kresna yang menyangkut hak dan kewajiban. Kalimat tersebut berbunyi : ‘Karmany eva dikaraste ma palesu kadacana’. Terjemahan bebas kira-kira berbunyi : ‘Engkau berhak melaksanakan kewajibanmu sesuai dengan yang diperintahkan kepada mu, namun engkau tidak berhak atas hasilnya’. Karena terjemahannya relative panjang, saya mencoba meringkas agar lebih sederhana, singkat dan padat menjadi ‘Hakmu ada pada kewajibanmu, bukan pada hasilnya’. Setelah konsultasi dengan pakar dan juga guru spiritual, kalimat tersebut disetujui dan cocok dengan bahasa militer.

Lalu apa yang menarik dari kalimat tersebut? Bagi saya, kalimat tersebut merupakan penemuan terbesar dalam pengalaman saya selama ini. Cocok dengan philosofi hidup bagi abdi Negara seperti prajurit TNI / pegawai dan insan birokrasi lainnya. Ada nuansa pengabdian tulus tanpa pamerih dalam memaknai kalimat tersebut. Bagi siapa saja yang memiliki idealisme pengabdian dalam dirinya, maka kalimat tersebut dapat dijadikan acuan, agar tetap tegar dan tidak takabur dalam menghadapi situasi apapun. Seorang pemimpin akan dicemooh bawahan, jika berani mengklim keberhasilan instansi yang dipimpinnya, sebagai keberhasilan pribadi. Demikian juga unsur pelaksana yang berada diujung terdepan proses tercapainya kesuksesan, akan mendapat cibiran dari rekan, bila berani mengklim sukses tersebut sebagai jerih payah sendiri. Semua pihak, baik perorangan maupun kelompok berperan penting dalam mencapai kesuksesan suatu organisasi.

Ibarat komunitas lebah, hidup berkelompok dan menjalankan fungsi sesuai dengan kelompok masing-masing. Lebah pekerja tahu persis haknya yaitu menjalankan kewajibannya mencari makan, bikin rumah dan mengawini ratu lebah sekali dan akhirnya mati. Para lebah pekerja bekerja berdasarkan insting dan tidak menggunakan akal pikiran sama sekali. Seandainya saja lebah pekerja tersebut menggunakan akal pikiran, maka tidak akan pernah ada sarang lebah. Sudah pasti semua lebah pekerja ingin kawin duluan dengan ratu lebah, lalu mati. Tidak capek cari makan, bikin rumah dan akhirnya juga hanya kawin sekali dengan ratu dan mati. Lebah pekerja menggunakan haknya untuk melaksanakan kewajiban berdasarkan insting. Setelah dewasa lebah pekerja akan terbang mengisap sari bunga dan kembali ke sarang menimbun sari bungan untuk makan dan rumah. Pasti lagi tidak salah lirik, lebah pekerja saat menghantarkan makanan kepada ratu lebah, lalu berhasrat mengawininya. Insting lebah pekerja setelah dewasa berjalan untuk mengawini lebah ratu dan kemudian mati. Matinya lebah pekerja merupakan akhir dari masa pengabdiannya dilingkungan komunitas lebah yang bekerja berdasarkan insting.

Bisa muncul pertanyaan, apakah sebagai anggota TNI/pegawai kita harus bekerja seperti lebah ? Jawabannya, yang jelas kita tidak pernah bisa kawin dengan ratu lebah. Ada persamaan dan perbedaan antara anggota TNI/pegawai dengan komunitas lebah dalam menjalankan fungsi dan tugas masing-masing. Seorang anggota TNI/pegawai harus melaksanakan tugas berdasarkan insting dan akal pikiran. Banyak diantara kita yang harus berangkat pukul lima pagi agar bisa ikut apel pagi pukul tujuh dan baru tiba dirumah lewat jam tujuh malam. Dalam konteks ini kita harus menggunakan insting semaksimal mungkin, agar dapat melakoni hari-hari pengabdian dilingkungan kedinasan dengan iklas.

Lalu kapan akal dan pikiran digunakan ? Menyelesaikan pekerjaan apapun dan dimanapun ditempatkan, wajib menggunakan akal dan pikiran. Hanya dengan cara demikian tugas dapat diselesaikan dengan baik. Hak sejati seorang anggota TNI/pegawai ada pada kewajibannya untuk menjalankan tugas yang diberikan pimpinan. Sementara hak seorang pemimpin adalah berkewajiban mengawasi, apakah hak tersebut dilaksanakan atau belum oleh bawahan. Hasil yang dicapai, akibat proses pelimpahan tugas antara anggota dan pemimpinnya, menjadi milik organisasi dimana mereka berada. Marilah kita laksanakan setiap kewajiban yang ada sebaik mungkin, sebab kewajiban telah menjadi hak milik kita. Apapun hasilnya merupakan buah pengabdian kita kepada bangsa dan Negara.

Jakarta, Maret 2007
Penulis

Kolonel Kav I Wayan Midhio
Kabag Opini, Rohumas Dephan