Popular Posts

Tuesday, May 22, 2007

ANTARA HAK DAN KEWAJIBAN

ANTARA HAK DAN KEWAJIBAN

Banyak diantara kita sering memperdebatkan “hak” dan “kewajiban”, tanpa pernah tahu makna keduanya. Perdebatan tentang kedua pokok bahasan tersebut sering menghias berbagai media cetak, namun terhenti seiring munculnya isu baru. Sementara itu diskusi atau lebih tepat disebut debat kusir tentang keduanya dikala mengisi waktu senggang, juga akan berhenti ketika cawan kopi telah kosong atau warung kopi telah saatnya ditutup. Kedua kelompok diskusi yang tersebar diseluruh pelosok kota hingga ke desa-desa, tidak pernah menghasilkan rangkuman yang dapat dijadikan acuan diskusi berikutnya. berbicara tentang hak, sebagian kalangan mengartikan hak sebagai milik pribadi yang melekat pada manusia. Sebagai milik pribadi, maka mereka beranggapan, hak bisa digunakan dan bisa juga tidak. Perdebatan masalah ini sering dijumpai menjelang Pemilu. Sebagian kalangan mengatakan, bahwa merupakan hak pribadi setiap warga Negara menggunakan hak pilihnya, ataupun sebaliknya. Sepertinya kelompok yang menggunakan logika ini, sedang tidak ada ‘mood’ ikut nyoblos pemilu dengan berbagai latar belakang. Mereka menggunakan pembenaran, hak sebagai milik pribadi, sehingga bisa digunakan dan bisa juga tidak. Tidak tanggung-tanggung mereka mendeklarasaikan diri sebagai golongan putih alias ‘gol-put’. Nampaknya mereka tidak bisa tampil pede, dan tidak segan-segan mengajak dan bahkan ‘memaksa’ orang lain ikut bergabung, agar mau tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu.

Pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan memiliki tanggungjawab dalam penyelenggaraan pemilu mempunyai jurus lain, untuk mengajak masyarakat melaksanakan haknya. Kalangan pemerintah, meminta agar masyarakat menyeimbangkan antara hak dan kewajiban sebagai warga negara. Masyarakat secara individu memiliki hak memilih dan dipilih dalam pemilu, yang tidak bisa dikurangi oleh siapapun. Namun sebagai masyarakat, juga ada kewajiban yang harus dilaksanakan terhadap negara. Antara hak dan kewajiban dalam kehidupan bernegara harus seimbang. Jika masyarakat memiliki hak pilih, maka ada juga kewajiban untuk memilih.

Sulit memang membedakan antara hak dan kewajiban dalam tataran pelaksanaan. Saat diskusi tentang rekonsiliasi kerusuhan Sampit, seorang peserta dengan lantang berteriak, saya hadir ditempat ini, sebagai wakil dari kabupaten Kota Waringin Timur memiliki hak berbicara untuk menyampaikan kebenaran kejadian dilapangan saat kerusuhan. Dengan tenang pemimpin diskusi menjawab, merupakan kewajiban bagi bapak untuk berbicara menyampaikan kejadian sebenarnya. Lain hal dengan hak setiap warga Negara untuk mendapat pendidikan. Seorang anak berhak mendapat pendidikan sampai SMP, atau setiap anak wajib belajar sampai SMP. Bagi Pemda yang mampu mendanai pendidikan, maka anak-anak diwajibkan belajar hingga SMP tanpa pungutan biaya. Sementara Pemda yang kurang memperhatikan pendidikan, masyarakat akan berdemo menuntut hak mendapat pendidikan gratis. Jelas disini bahwa hak dan kewajiban telah dijadikan alat oleh pihak tertentu dalam memperjuangkan kepentingan.

Penerapan antara hak dan kewajiban dalam kehidupan sehari-hari sebagai individu, terkadang terasa sulit dibedakan dan banyak yang tidak paham. Ketika saya mengajar pendidikan kewiraan di salah satu akademi, saya ditanya oleh seorang mahasiswi, dengan pertanyaan “Apakah sebagai warga Negara, kita boleh melaksanakan hak pilih kita dalam pemilu, atau boleh juga tidak melaksanakannya?. Sebab hak itu adalah milik kita yang hakiki dan tidak ada yang bisa melarangnya”. Sebagai seorang dosen kewiraan dan juga Dandim, tidaklah mungkin mengajurkan masyarakatnya untuk tidak ikut pemilu. Tetapi di alam reformasi seperti ini, sulit juga memaksakan kehendak, agar masyarakat ikut dalam pemilu. Saya tidak menjawab pertanyaan tersebut, namun saya balik bertanya. Apakah seorang ibu yang menyuapi anaknya, sedang melaksanakan hak atau kewajiban sebagai seorang ibu? Serempak mahasiswi dalam ruangan, yang kebetulan semuanya ibu-ibu pegawai di dinas kesehatan menjawab : “Ya kewajiban dong, pak….”. Saya bertanya lagi, coba diingat, ketika ibu menyuapi anak, apakah ibu bilang “kewajiban,kewajiban” atau “hak,hak”, sehingga anak itu mau buka mulut lalu bisa ibu suapi? Suasana ruangan menjadi hingar bingar, ada yang tersipu, tersenyum, tertawa dan berkomentar, “Ah…. bapak ada saja”. Mengakhiri kuliah kewiraan saat itu, saya tutup dengan pernyataan : “Masak hare….. geneeee…….. tidak tahu beda antara hak dan kewajiban, kalah dengan anak-anak yang masih disuapi”.

Cerita tentang hak dan kewajiban juga sering muncul dilingkungan satuan. Ketika masih Letnan di batalyon, saya dan beberapa rekan Danton lainnya pernah ditanya oleh komandan kompi. Berapa gajimu sebelum dipotong macam-macam? Saya tidak bisa menjawab, sebenarnya ingin berbohong, dan berpikir toh tidak mungkin Danki akan mengecek gaji saya. Namun saya urungkan niat tersebut dan saya jawab singkat : “Siap… tidak tahu, Dan“. Kami semua terkejut, ternyata komandan marah. Dengan kejujuran menjawab tersebut, saya berpikir Danki akan menghargai sikap saya. Ternyata sebaliknya. Sambil tetap jaga wibawa atau istilah sekarangnya jaim, Danki mengkuliahi kami. “Mana mungkinlah kau bisa melaksanakan kewajiban, bila tidak tahu hak kau”. Kami tidak ada yang berani berkomentar, selain menjawab dengan kata-kata “siap” berulangkali, sambil terus sikap sempurna. Perkuliahan Danki saat itu tidak sempat didiskusikan diantara teman-teman sesama Danton. Meski tidak pernah dibicarakan lagi, namun dalam hati kecil kita boleh bertanya : “Apakah betul bila tidak tahu besarnya gaji, berarti tidak bisa melakukan kewajiban?”. Pertanyaan tersebut mungkin tak perlu dijawab, sebab sebagian besar dari kita hingga kini, tidak pernah tahu secara pasti berapa besarnya gaji yang diterima setiap bulan.

Ada cerita lain tentang hak dan kewajiban dalam pengalaman tugas saya. Pada pelaksanaan tugas pengamanan salah satu pemilu di Sulawesi Selatan, saya menjabat sebagai Dan SSK. Menjelang selesai penugasan yang telah berlangsung sekitar dua setengah minggu, pimpinan menyampaikan bahwa akan ada dukungan dana terakhir. Total lama penugasan dalam pertanggungjawaban keuangan lebih banyak tujuh hari dari pada pada masa penugasan, yang kebetulan dipercepat. Kewajiban prajurit adalah menandatangi sesuai buku pertanggungjawaban keuangan, namun hak yang diberikan hanya selama penugasan. Dalam konteks ini, kewajiban diartikan sebagai tanda tangan, sedangkan hak sebagai lama waktu penugasan. Semestinya kewajiban prajurit melaksanakan tugas pengamanan sesuai lama waktu penugasan. Sedangkan hak prajurit adalah menerima sejumlah uang sesuai dengan apa yang ditandatangani dalam lembar pertanggungjawaban keuangan.

Hal lain berkaitan dengan hak dan kewajiban, saya peroleh saat bertugas di salah satu KBRI. Ketika selesai memperbaiki bagian depan ruang tamu rumah dinas Athan, salah seorang staf menganjurkan, agar saya mencantumkan nama dan waktu perbaikan. Alasannya supaya dikenang orang. Saran tersebut cukup menarik perhatian. Sebab pada banyak gedung yang dibangun atau direnovasi, diketemukan prasasti yang berisi waktu dan nama pejabat. Setelah merenung beberapa waktu, saya teringat saat diskusi dengan seorang guru spiritual. Perbincangan dengan guru tersebut, sekitar buku suci agama Hindu yaitu ”Bhagawadgita”. Akhirnya saya putuskan tidak mencantumkan identitas saya pribadi pada bangunan tersebut.

Salah satu kalimat dalam buku suci Bhagawadgita yang berarti Nyanyian Tuhan, menceritakan tentang wejangan Sri Kresna kepada Panglima Perang Pandawa, Arjuna sesaat sebelum Bhratayudha dimulai. Sri Kresna memberikan semangat dan dorongan moril kepada Arjuna agar mau berperang. Karena sebelumnya Arjuna melemparkan busur dan melepas anak panah dari gendongannya, saat menyaksikan kekuatan pasukan kedua belah pihak siap bertempur di medan Kuru Setra. Arjuna berkata kepada Sri Kresna, untuk apa saya berperang, sebab yang saya hadapi adalah saudara sendiri. Kakek, guru, paman, saudara dan kerabat semua berada diseberang sana. Jika saya menang, apa artinya kemenangan atas kematian saudara sendiri. Apakah pantas seorang kesatria besar, panglima perang keluarga Pandawa yang dohormati, menikmati kemenangan diatas bangkai sanak saudara. Setelah Arjuna menyampaikan kehancuran hatinya, jika harus membunuh semua sanak saudara yang menjadi musuh di Kuru Setra, akhirnya terduduk dan memeluk kaki Sri Kresna serta minta mundur sebagai panglima perang.

Melihat sikap Arjuna yang linglung tersebut, dengan panjang lebar Sri Kresna memberi wejangan kepada Arjuna tentang kewajiban seorang kesatria di medan perang, ya harus membunuh demi tegaknya kebenaran dan keadilan. Bila tidak membunuh, akan dibunuh oleh musuh. Tidak pandang bulu siapapun yang berada dipihak musuh, entah saudara, kakek, paman, guru sekalipun. Mereka juga kesatria gagah berani, yang harus berperang dan membunuh siapapun yang menjadi musuhnya. Mereka sedang menjalankan Dharma (kewajiban) untuk membela Negara. Mereka semua orang-orang baik yang kebetulan berada dipihak Duryadana yang jahat. Takdir telah menempatkan mereka berhadapan dengan mu, wahai Arjuna. Maka takdirmu juga sebagai seorang kesatria, wajib membunuhnya. Terkait dengan penjelasan tadi, ada satu kalimat dalam wejangan Sri Kresna yang menyangkut hak dan kewajiban. Kalimat tersebut berbunyi : ‘Karmany eva dikaraste ma palesu kadacana’. Terjemahan bebas kira-kira berbunyi : ‘Engkau berhak melaksanakan kewajibanmu sesuai dengan yang diperintahkan kepada mu, namun engkau tidak berhak atas hasilnya’. Karena terjemahannya relative panjang, saya mencoba meringkas agar lebih sederhana, singkat dan padat menjadi ‘Hakmu ada pada kewajibanmu, bukan pada hasilnya’. Setelah konsultasi dengan pakar dan juga guru spiritual, kalimat tersebut disetujui dan cocok dengan bahasa militer.

Lalu apa yang menarik dari kalimat tersebut? Bagi saya, kalimat tersebut merupakan penemuan terbesar dalam pengalaman saya selama ini. Cocok dengan philosofi hidup bagi abdi Negara seperti prajurit TNI / pegawai dan insan birokrasi lainnya. Ada nuansa pengabdian tulus tanpa pamerih dalam memaknai kalimat tersebut. Bagi siapa saja yang memiliki idealisme pengabdian dalam dirinya, maka kalimat tersebut dapat dijadikan acuan, agar tetap tegar dan tidak takabur dalam menghadapi situasi apapun. Seorang pemimpin akan dicemooh bawahan, jika berani mengklim keberhasilan instansi yang dipimpinnya, sebagai keberhasilan pribadi. Demikian juga unsur pelaksana yang berada diujung terdepan proses tercapainya kesuksesan, akan mendapat cibiran dari rekan, bila berani mengklim sukses tersebut sebagai jerih payah sendiri. Semua pihak, baik perorangan maupun kelompok berperan penting dalam mencapai kesuksesan suatu organisasi.

Ibarat komunitas lebah, hidup berkelompok dan menjalankan fungsi sesuai dengan kelompok masing-masing. Lebah pekerja tahu persis haknya yaitu menjalankan kewajibannya mencari makan, bikin rumah dan mengawini ratu lebah sekali dan akhirnya mati. Para lebah pekerja bekerja berdasarkan insting dan tidak menggunakan akal pikiran sama sekali. Seandainya saja lebah pekerja tersebut menggunakan akal pikiran, maka tidak akan pernah ada sarang lebah. Sudah pasti semua lebah pekerja ingin kawin duluan dengan ratu lebah, lalu mati. Tidak capek cari makan, bikin rumah dan akhirnya juga hanya kawin sekali dengan ratu dan mati. Lebah pekerja menggunakan haknya untuk melaksanakan kewajiban berdasarkan insting. Setelah dewasa lebah pekerja akan terbang mengisap sari bunga dan kembali ke sarang menimbun sari bungan untuk makan dan rumah. Pasti lagi tidak salah lirik, lebah pekerja saat menghantarkan makanan kepada ratu lebah, lalu berhasrat mengawininya. Insting lebah pekerja setelah dewasa berjalan untuk mengawini lebah ratu dan kemudian mati. Matinya lebah pekerja merupakan akhir dari masa pengabdiannya dilingkungan komunitas lebah yang bekerja berdasarkan insting.

Bisa muncul pertanyaan, apakah sebagai anggota TNI/pegawai kita harus bekerja seperti lebah ? Jawabannya, yang jelas kita tidak pernah bisa kawin dengan ratu lebah. Ada persamaan dan perbedaan antara anggota TNI/pegawai dengan komunitas lebah dalam menjalankan fungsi dan tugas masing-masing. Seorang anggota TNI/pegawai harus melaksanakan tugas berdasarkan insting dan akal pikiran. Banyak diantara kita yang harus berangkat pukul lima pagi agar bisa ikut apel pagi pukul tujuh dan baru tiba dirumah lewat jam tujuh malam. Dalam konteks ini kita harus menggunakan insting semaksimal mungkin, agar dapat melakoni hari-hari pengabdian dilingkungan kedinasan dengan iklas.

Lalu kapan akal dan pikiran digunakan ? Menyelesaikan pekerjaan apapun dan dimanapun ditempatkan, wajib menggunakan akal dan pikiran. Hanya dengan cara demikian tugas dapat diselesaikan dengan baik. Hak sejati seorang anggota TNI/pegawai ada pada kewajibannya untuk menjalankan tugas yang diberikan pimpinan. Sementara hak seorang pemimpin adalah berkewajiban mengawasi, apakah hak tersebut dilaksanakan atau belum oleh bawahan. Hasil yang dicapai, akibat proses pelimpahan tugas antara anggota dan pemimpinnya, menjadi milik organisasi dimana mereka berada. Marilah kita laksanakan setiap kewajiban yang ada sebaik mungkin, sebab kewajiban telah menjadi hak milik kita. Apapun hasilnya merupakan buah pengabdian kita kepada bangsa dan Negara.

Jakarta, Maret 2007
Penulis

Kolonel Kav I Wayan Midhio
Kabag Opini, Rohumas Dephan

No comments: