Popular Posts

Tuesday, May 22, 2007

IDEALISME WORTEL, TELOR DAN KOPI

Idealisme antara WORTEL, TELOR DAN KOPI

Membaca judul diatas, mungkin pembaca bertanya. Apa itu idealisme antara telor, wortel dan kopi? Tidak bermaksud membuat sensasi, agar tulisan ini dibaca. Mencoba dengan judul lain, seperti wortel telor dan kopi menjadi WTK atau dibalik telor, kopi dan wortel menjadi TKW, rasanya kurang pas. Bahkan dengan singkatan wortel, telor dan kopi menjadi woteko, atau dibalik wortel, kopi dan telor menjadi telkotel, juga kurang enak didengar. Judul tersebut dibuat untuk menggambarkan idealisme seseorang dilihat dari sikap, prilaku atau attitude yang ditampilkan dengan simbul wortel, telor dan kopi. Sebagai hiperbolisme belaka.

Terkadang atasan, bawahan, teman dan kerabat kita dalam suatu kesempatan bersikap santun, bijak dan ramah tamah. Namun kita juga pernah melihat mereka bersikap tidak simpati, dan kita kaget dibuatnya. Kita mencoba mencari tahu, dan bersikap empati, kenapa orang yang begitu santun, bijak dan ramah tamah, tiba-tiba bersikap tidak seperti biasanya. Pencarian kita ada kalanya berhasil, namun hasilnya belum tentu benar. Demikianlah manusia, mahluk yang mengaku sempurna, namun ternyata tidak sempurna. Ketika situasi tenang, damai dan tanpa ada tekanan, seseorang cenderung menunjukan prilaku baik, ramah dan sopan. Masyarakat sekitar menilai orang tersebut memiliki prilaku baik dan tidak macam-macam. Sebagai mahluk yang memiliki rasa, cipta dan karsa, manusia ada kecenderungan ingin dinilai baik, sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat beradab.

Situasi dan lingkungan, saat seseorang berinteraksi dengan masyarakat sekitar, berpengaruh terhadap sikap dan prilakunya. Untuk bisa mengetahui sikap dan prilaku seseorang secara pastilah sangat sulit. Pada dasarnya, dalam diri manusia terdapat dua karakter yang saling berbeda, baik buruk, jujur culas, sopan brangasan, pendiam clometan, penyabar grasa grusu dan lain-lain. Manusia pada umumnya akan menampilkan sikap dan prilaku sehari-hari dari sisi baik saja. Pada situasi tertentu, sifat jelek yang biasanya tersembunyi akan muncul secara tiba-tiba. Kemunculan tiba-tiba tersebut, disebabkan seseorang sedang menghadapi situasi tegang, kritis, tidak terkontrol atau situasi sulit lainnya, yang tidak dapat dihadapi dengan cara-cara seperti biasa.

Situasi diatas diistilahkan dengan intensitas ketegangan tinggi digambarkan dengan panasnya air, sebagai simbul dari situasi sulit, penuh dengan resiko dan terkadang bersifat fatamorgana, serta tidak banyak pilihan. Situasi sulit yang yang digambarkan dengan air panas akan merubah karakter wortel, telor dan kopi, beserta dampak yang ditimbulkannya. Saat menghadapi intensitas ketegangan tinggi, ada kecenderungan seseorang menampilkan prilaku yang selama ini “disembunyikan”. Menghadapi hal demikian, banyak kalangan mengatakan, orang tersebut sedang muncul sikap dan prilaku aslinya. Sebenarnya kondisi tersebut bisa diatasi, jika seseorang telah cukup pengalaman hidup, latar belakang pendidikan memadai, serta mampu mengeksploitasi idealisme yang ada dalam dirinya. Idealisme inilah yang menjadi bahasan tiga perumpamaan wortel, telor dan kopi, jika seseorang menghadapi situasi tertentu dalam lingkungannya.

Pertama, Prilaku yang digambarkan sebagai wortel pada dasarnya adalah prilaku baik, dan banyak kita jumpai di lingkungan disekitar. Coba perhatikan sebuah umbi wortel, yang masih ada daunnya dan telah dicuci pula. Secara fisik penampilan wortel terlihat menarik manis dan cantik. Perpaduan warna kontras antara orange dan hijau, bentuk fisik yang meruncing simetris nampak kokoh dan cukup keras, adalah gambaran keindahan dan kekuatan. Bahkan terasa manis dan bergizi lagi, bila minum juice wortelnya. Namun apa yang terjadi saat wortel direbus, berubah lembek dan rapuh. Warna masih tetap sama. Disantap terasa enak. Analogi wortel yang berubah lembek setelah direbus, merupakan gambaran seseorang yang tidak mampu melakukan penyesuaian diri dalam lingkungan situasi intensitas tegangan tinggi. Sikap dan prilaku baik yang selama ini ditampilkan, tidak mampu membendung godaan, sehingga berubah dan kehilangan idealisme. Secara kasat mata dia tetap teman baik dan menyenangkan.

Gambaran idealisme seperti wortel dalam kehidupan sehari-hari, sering kita temui. Banyak rekan kita yang dikenal baik, memiliki idealisme dan berkarakter, namun gagal setelah berhadapan dengan situasi sulit. Godaan materi, wanita dan kekuasaan meluluhkan pribadi kuat yang selama ini dijadikan idola dan panutan bawahan. Tidak jarang terjadi, seseorang yang begitu soleh, berkali-kali dipercaya sebagai penasehat pasangan menikah, dan menjadi panutan bawahan, karena kerukunan rumah tangganya, gagal memelihara idealisme. Apa yang terjadi ? Ketika pensiun, isteri sakit-sakitan, anak-anak tidak terurus dan ternyata punya “momongan” baru. Demikian juga seseorang yang dikenal disiplin saat masih dinas aktif, setelah pensiun, mencoba tengok rumput tetangga. Silau….., lalu mencoba menceburkan diri ke bisnis kayu ilegal, memanfaatkan fasilitas rekan yang lagi berkuasa, sampai masuk penjara. Dan banyak juga yang terlalu percaya diri dengan kemampuan, namun tidak terkendali, ketika harapan mendapat kedudukan lebih tinggi tidak tercapai, malah bunuh diri, atau sakit-sakitan karena frustrasi. Dalam menjalani kehidupan ini, kita perlu idealisme. Sikap dan prilaku baik, yang selama ini mampu ditampilkan, perlu terus dijaga dan jangan seperti wortel, ketika direbus jadi rapuh.

Pada dasarnya, kebanyakan masyarakat kita dibentuk oleh manusia-manusia dengan karakter wortel. Sopan santun, ramah tamah, lemah lembut dan berbagai kata-kata sejenis yang menunjukan sejatinya bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Karakter feminim tersebut, disatu sisi cukup positif untuk memberikan nilai-nilai baik terhadap keberadaban bangsa, namun memiliki sisi-sisi negatif dalam kerangka membentuk manusia Indonesia yang berkarakter. Setidaknya perubahan karakter dalam tulisan Jawa dapat menjadi contoh gambaran karakter wortel tersebut. Hal ini tergambarkan dari perubahan bunyi hurup hidup dalam tulisan Jawa, berubah menjadi hurup mati ketika diberi “taleng”. Terkadung makna bahwa pujian, sanjungan dan godaan lainnya dapat meluluhkan idealisme seseorang. Dan bukan hanya orang Jawa saja, bahkan semua orang Indonesia memiliki kecenderungan akan kelemahan ini. Menyadari bahwa kita memang manusia lemah, namun dikarunia berbagai kelebihan, maka semestinya kita mampu mengeksploitasi berbagai kelebihan tersebut, sebagai kekuatan yang mampu memberikan nilai tambah yang berlipat. Sebaliknya kita juga berupaya untuk mengeleminir setiap kelemahan yang terdeteksi dalam diri kita, dengan selalu waspada dan sadar, bahwa setiap kelemahan tersebut dapat menjadi batu sandungan. “Eling lan waspodo”, demikian kalimat yang selalu menjadi bahan wejangan bagi masyarakat aliran kepercayaan, sangat baik jadikan eliminator terhadap kelemahan yang ada dalam diri sendiri.

Kedua, prilaku yang digambarkan sebagai telor, juga menampilkan banyak sisi baiknya. Telor dengan warna putih, kemerahan dan bahkan ada kebiruan dengan bentuk bulat lonjong simetris, menampilkan keindahan bila dipandang. Cairan bening putih telor dan kuning telor yang ada didalamnya, walau encer tidak pernah bersatu, sehingga tetap indah dan menarik. Lalu, apa yang terjadi ketika telor tersebut direbus ? Secara fisik masih tetap nampak sama. Bahkan jauh lebih enak, bila dimakan. Namun isi di dalamnya mengeras, tidak encer lagi. Analogi telor mengeras setelah dimasak, merupakan gambaran prilaku seseorang yang berubah dan mengeras, bila berhadapan dengan situasi yang memiliki intensitas ketegangan tinggi. Panutan kita yang semula kelihatan berpenampilan lemah lembut, menarik dan luwes dalam pergaulan, bisa jadi berubah, mengeras dan cenderung berprilaku ekstrim mempertahankan prinsip dan idealisme yang diyakini benar. Tidak mau lagi menerima nasehat dari rekan. “Keukueh”, kata orang Bandung.

Dalam kehidupan sehari-hari, cukup banyak rekan, atau siapa saja dilingkungan kita, berprilaku seperti diatas. Terhadap prinsip yang diyakini benar, mereka bertahan, tidak mau menerima masukan dan pandangan orang lain. Ada kalanya, tidak mampu mengendalikan diri, agresip, memaksakan kehendak dan suka “mutung” bila pendapatnya tidak dipakai. Ciri lainnya, mengagung-agungkan diri sendiri, sambil menutupi kelemahannya. Lebih celaka lagi, merasa hanya prinsipnya yang paling benar. Dan fatalnya, menyerang dan menjelek-jelekan orang lain. Banyak di antara mereka yang tergolong dalam kategori idealisme ini adalah kaum intelektual, namun kurang memiliki strategi dalam menghadapi berbagai situasi yang dihadapi. Perpaduan antara kecerdasan, keberanian dan sikap terus terang, kadang kala tidak bisa diterima oleh lingkungan, entah rekan, atasan dan masyarakat sekitar. Meminjam istilah mantan Mendagri, Alm. Jenderal TNI (Pur) Rudini, orang yang berpenampilan demikian ibaratnya ‘rudal rusak’, dipakai tidak mencapai sasaran, dipelihara berbahaya.

Sebenarnya masyarakat sekitar menaruh hormat kepada mereka yang memiliki idealisme dan karakter seperti digambarkan di atas. Ada kecerdasan, keberanian dan karakter kuat dalam dirinya, sehingga menimbulka rasa percaya diri berlebihan dan namun kurang bersikap empati terhadap orang lain. Dalam situasi tertentu, seperti tidak adanya panutan dari pemimpin, memungkinkan munculnya pemimpin idealis seperti ini. Dan mereka menjadi dambaan masyarakat sekitar, biasanya berhasil. Mereka juga sangat giat dan ulet mengajak unsur yang dipimpin untuk maju, mencapai prestasi semaksimal mungkin. Sayangnya, setiap keberhasilan yang akan dicapai, juga akan menjatuhkan kebesarannya, sebab mereka sombong dan arogan. Malang bagi mereka, kejatuhannya juga sangat menyakitkan, sebab mereka tidak menyadari, bahwa ada pihak lain yang ingin muncul jadi pemimpin sukses, bila perlu dengan segala cara. Apa lacur, mereka dengan idealisme seperti ini, tidak menyadari bahwa telah terjadi perubahan situasi, “power syndrome” membayangi dirinya, dan memperparah kejatuhannya. Menyikapi idealisme yang demikian dalam diri kita, marilah kita rajin tengok kanan dan kiri, serta kebelakang, untuk memfungsikan kendali-kendali diri. Diharapkan pada episode akhir dari masa tugas kita, diwarnai senyum dan saling tegor sapa, bila bertemu, entah dimana.

Ketiga, prilaku yang digambarkan sebagi Kopi. Coba dialihkan imajinasi kita sejenak dan bayangkan sekotak kopi serbuk hitam. Warnanya memang hitam, namun tidak sepenuhnya hitam, agak kecoklatan. Berupa serbuk, lembut dan aromanya, wah… sedaaap!. Tidak terkecuali yang suka minum kopi, atau tidak, semua menyukai aromanya. Terlebih kopi sekarang yang telah dicampur susu, kopi tree in one, sekalian dengan gula. Hitam manis, demikian pantasnya disebut, dan juga beraroma. Nah, bagaimana bila diseduh air panas ? warna jelas masih hitam, sudah pasti lembut karena berupa cairan, dan aromanya masih tetap wah………! Tidak ada yang berubah. Analogi kopi ini, dimaksud menggambarkan seseorang yang memiliki idealisme dengan karakter yang kuat. Mampu menyesuaikan diri dengan segala situasi disekitar, tanpa pernah ada perubahan berarti dalam sikap dan prilakunya. Orang dengan sikap dan prilaku demikian, senantiasa mampu menempatkan dirinya ditengah lingkungan apapun dan diterima masyarakat sekitar. Dalam situasi senang, mereka tidak tertawa terbahak, bahak. Bila dicemooh, mereka masih tersenyum. Dan bila situasi sulit, mereka masih tetap tenang. Sikap dan prilaku demikian memberi keteduhan pada masyarakat sekitar.

Dalam kehidupan sehari-hari, sosok demikian relatif langka, namun ada dan cukup banyak. Keberadaan mereka, seperti orang kebanyakan, memiliki berbagai kelebihan sikap dan prilaku seperti digambarkan pada analogi sebelumnya. Bedanya, bila berhadapan situasi dengan intensitas ketegangan tinggi, yang muncul dalam diri dan penampilannya adalah ketenangan. Segala sesuatu dihadapi dengan tenang, penuh wibawa dan kerendahan hati, serta berempati dengan masyarakat sekitar. Tutur katanya teduh dalam memberi nasehat dan bimbingan kepada yang memerlukan. Tidak ada indikasi provikatif dalam wejangannya, namun semuanya nasehatnya berupa pandangan akan pilihan hidup, beserta akibat yang akan dihadapi dalam pilihan masing-masing. Kesan positif, seperti kedewasaan, kearifan, bijaksana dan sifat kenegarawanan ada pada diri mereka. Motovasi bekerja yang ada pada dirinya bersifat tulus, tanpa pamerih, namun penuh dengan tanggungjawab. Memahami antara hak dan kewajiban yang menjadi dasar dalam tindakannya. Dan rasa takut yang ada pada dirinya, adalah takut bila berbuat salah.

Menjadi orang idealis sebagaimana dianalogikan kopi tidaklah sulit. Setidaknya ada tiga kategori sosok idealis yang ada dalam masyarakat kita, yaitu : Pertama, masyarakat desa yang lugu dan menjalankan kepatuhan akan norma kebenaran sebagai prinsip dalam hidup. Semisal dalam tayangan “Toloooong” di sebuah stasiun televisi swasta. Saat seorang nenek tua penjual beras, menolak hadian jutaan rupiah yang diberikan oleh petugas televisi, pemandu acara tersebut. Bagi si nenek tua yang sederhana, bantuan kepada penjual sayuran kol (yang perannya telah dipersiapkan oleh stasiun televise) murni sebagai keikhlasan untuk membantu sesama. Tidak ada pamerih, tulus dan jujur. Kedua, adalah kaum intelektual profesional yang mampu menerapkan prinsip propesional dalam menjalankan tugas. Para profesional akan menggunakan kecerdasan intelektual dalam mengemban tugas dan tanggung jawab. Tidak ada rasa canggung, terlebih rasa takut, ketika harus mengatakan kebenaran, apapun resikonya. Ketiga, Kaum birokrat yang mampu menerapkan idealime dalam situasi yang dianggap memungkinkan. Namun dalam situasi yang tidak memungkinkan, mereka tidak larut dan terbawa arus. Ibarat ikan di laut laut, tidak akan pernah berubah jadi ikan asin.

Saat berdiskusi tentang idealisme sering muncul pertanyaan, kenapa kebanyakan orang idealis tersingkir dari pergaulan, atau tidak dipakai oleh pimpinan ? Gambaran idealis sekelompok orang seperti digambarkan dalam pertanyaan tersebut, sangat mungkin tidak mampu melihat seutuhnya idealis sebenarnya orang dimaksud. Malah perlu ditanya balik, apakah benar yang dimaksud itu, orang idealis ? Sikap dan prilaku seseorang yang ditampilkan sesaat kepada kita, tidaklah mampu memberi gambaran tentang sikap dan prilaku sejatinya, terlebih untuk mengetahui kadar idealisme yang ada padanya. Kecenderungan menutupi sifat dan prilaku jelek, sangat manusiawi. Namun demikian, janganlah membiasakan menumpuk kejelekan, sembari menutupinya. Biasakan berbuat baik, namun tidak mengobral cerita tentang kebaikan pribadi secara sembarangan.

Ada kalanya rekan bertanya menguji kadar idealisme kita. “Jika ada sepulung orang, sembilan diantaranya gila, apakah bisa yang satu orang menyebut dirinya waras?” Pertanyaan tersebut sebenarnya merupakan perangkap bagi yang tidak menyadari. Apabila terbawa oleh logika yang terkandung dalam pertanyaan tersebut, sudah pasti kita terperangkap. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak yang terperangkap dalam kebenaran menurut pandangan umum. Kesalahan yang diperbuat berulang kali, terlebih oleh seorang pemimpin, lama kelamaan dianggap benar. Lebih parah lagi, tidak ada yang berani meluruskan, dan anehnya, banyak yang meniru. Dalam situasi demikian, terkadang orang yang mengetahui kebenaran takut dituduh salah, sehingga membiarkan kebenaran tersebut dianggap salah. Akhirnya memilih jadi gila, untuk dapat diterima di lingkungan orang gila. Sungguh malang nasibnya. Seandainya ada kadar idealisme yang cukup dalam diri kita, mungkin kita tidak perlu gila dulu untuk bisa dianggap orang waras. Mengutip goro-goronya Pangeran Joyoboyo, “Saat ini memang jaman edan, bila tidak ikut edan, maka tidak kebagian. Tetapi sangat jauh beruntung bila jadi orang waras, karena orang waras akan selamat dari mara bahaya”. Seandainya ada yang telah kebagian cukup banyak dijaman edan ini, maka ke depan, marilah kita cari keberuntungan dengan menjadi orang waras. Mudah-mudahan terhindar dari mara bahaya.

Kembali pada ke idealisme wortel telor dan kopi, ada baiknya hiperbolisme tersebut dijadikan ‘joke’ untuk mengingatkan bawahan, rekan atau atasan sekalipun, agar tidak salah tindak dalam bertugas. Bagi siapa saja yang sedang menduduki jabatan bagus atau basah, kita tidak boleh iri hati. Sebaliknya kita wajib mengingatkan, bila mereka nampak mulai miring atau menyimpang, dengan gurauan “awas… jangan jadi wortel loe….!”. Bagi yang diingatkan, jangan marah atau lupa diri, balik balas : “Ah, jangan ributlah, nanti ku kirim kau juice wortel”. Sebaiknya cepat sadar, bahwa ada bau tak sedap yang dirasakan orang diluar sana. Berbenah, kembali ke jalan yang benar. Ameeeen!

Begitu juga bagi yang mulai agak ektrim atau terlanjur, dan sulit diingatkan, boleh juga ditegor : “Ah, telorlah kau”. Bagi yang disindir demikian, jangan pula marah, sambil membalas : “kau makanlah itu”. Sebaiknya mulai sadar, bahwa jadi ‘rudal rusak’ itu tidak terpuji. Berkacalah kepada para veteran kita, yang rajin datang saat diundang upacara hari nasional atau hari ulang tahun satuan. Tampaknya mereka menikmati suasana itu. Duduk manis dengan tertib, sambil mengenang kejayaan dan keindahan kenangan masa lalu. Bak senapan antik, walaupun tidak bisa ditembakkan karena sudah tua, namun masih dipajang sebagi hiasan dinding, dan bernilai tinggi.

Sedangkan bagi yang memiliki penampilan baik, sederhana, luwes dan diterima lingkungan, cerdas lagi, serta berbagai kelebihan yang ada padanya, bila disindir teman dengan kata-kata : “wah… ini baru ….kopi”, jangan lupa diri. Mendapat predikat kopi, jangat geer dan sombong. Atau ada juga yang mengeluh, sebab kata orang jawa, mereka ini “mumpuni’, banyak dipakai atasan.
Namun, karena banyak dipakai dan membantu pimpinan, kadang kala lupa dipromosikan. Bila saja ada yang merasakan situasi seperti ini, jangan malah membalas : “emang “kopi”kir enak jamuran”. Bersabarlah!, orang yang baik dan pintar, dapat diandalkan pimpinan dan diterima lingkungan, pasti tidak akan jamuran. Saatnya nanti, ada promosi untuk anda. Ameeeen…!

Jakarta, 2 Mei 2007
KABAB OPINI ROHUMAS


KOLONEL KAV I WAYAN MIDHIO

No comments: